Menumbing


Greeting

SELAMAT DATANG DI SITE BLOG MENUMBING HERITAGE HOTEL PANGKALPINANG
Kami kembali hadir dengan sesuatu yang lain dari yang pernah anda bayangkan

Minggu, 05 April 2015

Welcome to MENUMBING HERITAGE HOTEL

Visit Pangkalpinang 2015
Fill in your Long Weekend Trips in the Bangka Islands




Selasa, 06 November 2012

MENUMBING HERITAGE HOTEL DALAM SEJARAH

ISHAK BOENTARAN
IR.ALVERT LUNTAN BUNTARAN, MBA


MENUMBING HOTEL DALAM SEJARAH

MENUMBING HOTEL merupakan Hotel Pertama berdiri di Pulau Bangka, yang menempati Area di Jl. Gereja/ Jl.Budi Mulia No.05 Pangkalpinang ( di Pusat Bisnis kota Pangkalpinang ) dengan daya Tampung 60 Kamar dari berbagai Type kamar yang tersedia. Menumbing Hotel dibangun mulai Tahun 1980 dan diresmikan pemakaiannya pada Tanggal 1 Januari 1986. Menumbing Hotel dirancang dengan gaya clasic yang di bangun dalam arsitektur citra sebuah hotel modern oleh seorang Putra Daerah bernama ISHAK BOENTARAN yang merupakan Pencetus sekaligus Pemrakarsa berdirinya sebuah sarana penunjang kepariwisataan Pertama di Pulau Bangka ini.

Menumbing Hotel berasal dari sebuah nama tempat yang cukup bersejarah dimasa Revolusi perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, yang mana daerah ini dijadikan tempat untuk mengasingkan para Pemimpin Bangsa Indonesia seperti Ir. Soekarno ( Presiden RI pertama ) dan Drs.Mohammad Hatta ( Wakil Presiden RI pertama ) bersama kawan-kawan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda Pada tahun 1948-1949 . Tempat ini adalah merupakan kawasan Pegunungan, tepatnya berada di daerah Mentok Kabupaten Bangka Barat dengan jarak tempuh 136 Km dari Kota Pangkalpinang. Dipuncak gunung Menumbing inilah Kolonial Belanda mendirikan sebuah bangunan Tua yang merupakan peninggalan bersejarah yang di kelilingi oleh tembok pembatas untuk dijadikan tempat penawanan para pemimpin Bangsa. Kawasan Gunung Menumbing ini sampai sekarang cukup populer dengan sebutan nama PESANGGRAHAN MENUMBING.

ISHAK BOENTARAN merupakan salah seorang tokoh yang telah meletakkan tonggak sejarah pembangunan Kota Pangkalpinang yang diawali dengan Pembangunan kawasan Perbelanjaan (Bisnis Centre), Gedung-gedung Pemerintahan, sarana pendidikan dan lain-lain sebagainya dimasa Pemerintahan Roesli Romli (1973-1978) H.M. Arub, SH (1978-1983) H.M. Arub, SH (1983-1988) Drs. H. Rosman Djohan (1989-1993) Drs. H. Sofyan Rebuin,MM (1993-1998) sebagai Walikotamadya Pangkalpinang pada waktu itu. Hal ini adalah merupakan suatu wujud kepedulian seorang putra daerah terhadap Pembangunan tanah kelahirannya sehingga berhasil merubah wajah kota pangkalpinang menjadi sentra perekonomian masyarakat di Pulau Bangka.

Menumbing Hotel merupakan salah satu bangunan yang di peloporinya, guna menunjang sektor terpenting yang telah dibangunkan sebelumnya di kota Pangkalpinang, untuk menampung Tingkat Arus kunjungan Wisatawan baik Nusantara maupun Manca Negara yang datang berkunjung ke Pulau Bangka dalam Rangka Bussines, Pleasure maupun untuk tujuan Official. Pangkalpinang merupakan salah satu kota terpenting bagi pengembangan Industri Pariwisata di Pulau Bangka pada saat itu. Sangatlah beralasan karena kota Pangkalpinang merupakan Gerbang utama masuknya wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat tentang Pulau Bangka yang sangat dikenal dunia dengan Hasil Timah dan Lada Putihnya. Hal ini telah menjadi pemikiran sosok sang Putra Daerah ISHAK BOENTARAN mengingat Pulau Bangka dikelilingi oleh Panorama alam berupa Pantai-pantai yang indah menawan yang tidak kalah menarik dengan pantai-pantai yang ada di daerah lainnya yang menjadi Destinasi Wisata di Indonesia.

Keberadaan Menumbing Hotel mempunyai arti tersendiri bagi pembangunan kota Pangkalpinang dan Pulau Bangka, yang mampu menjawab tantangan terhadap Sektor Pembangunan Kepariwisataan yang sampai saat ini perkembangannya cukup mengembirakan. Menumbing Hotel dalam sejarah berdirinya sangat menentukan kehidupan dunia kepariwisataan baik tingkat Regional, Nasional maupun Internasional, karena Menumbing hotel merupakan pilihan utama yang menjadi andalan bagi setiap tamu-tamu yang akan datang berkunjung dan satu-satunya hotel yang menyandang predikat hotel Berbintang di Pulau Bangka pada saat itu. 

Pada Tahun 1988 Terjadi fenomena alam Gerhana Matahari Total di wilayah Pulau Sumatera, Sulawesi hingga ke Kalimantan dan Pulau Bangka di jadikan titik pantau yang paling strategis untuk mengamati Fenomena alam tersebut karena memiliki hamparan pantai yang cukup luas dan panjang. Gerhana matahari total ini menarik perhatian para wisatawan Nusantara dan Mancanegara, sebab hal ini merupakan fenomena alam yang menakjubkan dan jarang terjadi. Sehingga banyak para wisatawan tertarik melihat secara Langsung Fenomena Alam ini untuk Kepentingan Riset dan Dokumentasi. Menumbing Hotel Merupakan satu-satunya Hotel Berbintang yang ada di Pulau Bangka pada waktu itu Di tunjuk langsung Oleh Bapak Presiden SOEHARTO ( Presiden Kedua RI ) untuk Menampung Para Ilmuan Mancanegara dan Duta Besar Negara Sahabat dalam rangka menyaksikan secara langsung Fenomena Alam ini. Sehingga Nama Menumbing Hotel menjadi dikenal secara Nasional maupun Internasional setelah terjadinya Fenomena Alam tersebut, dan banyak Perusahaan Biro Perjalanan Wisata menjalin kerjasama untuk mendatangkan wisatawan ke Pulau Bangka, dan sejak saat itu Pulau Bangka Ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui Menteri Pariwisata & Telekomunikasi menjadi Daerah Tujuan Wisata ke 17 di Indonesia.

Di Era Tahun 80-an sampai 90-an Menumbing Hotel menjadi kebanggaan Masyarakat Bangka, Karena sering kedatangan tamu-tamu Selebritis Nasional dalam rangka konser/ memberi hiburan kepada Masyarakat Bangka. Selain dijadikan tempat untuk tourism, Istirahat Keluarga, Bisnis, Entertainment dan Official. Menumbing Hotel dalam Kiprahnya telah mampu menghadapi tantangan bagi Dunia Kepariwisataan di Tanah air. Meskipun saat ini sudah menjamurnya sarana akomudasi berupa hotel-hotel kelas yang menghiasi setiap sudut kota Pangkalpinang, namun keberadaan Menumbing hotel masih mampu mengimbangi hotel-hotel yang baru berdiri tersebut dengan memberi warna dan ciri khas tersendiri baik dalam segi pelayanan maupun aspek Managerial pengelolaannya.

Pada Pertengahan bulan Juni Tahun 2012 yang lalu Menumbing Hotel mulai Memasuki Tahapan Renovasi Bangunan dan Fasilitas Penunjangnya secara keseluruhan guna menjawab Tantangan atas Perkembangan dunia Kepariwisataan yang semakin pesat dari waktu kewaktu, sehingga Menumbing Hotel diharapkan akan terus mampu meraih keunggulan yang kompetitif. Maka Pihak Owner Menumbing Hotel Mengambil inisiatif dan langkah kebijakan untuk segera Merenovasi Bangunan Hotel untuk mencapai sasaran Perusahaan dalam upaya meningkatkan daya saing . Renovasi Menumbing Hotel secara Keseluruhan ini dilakukan oleh Bapak Ir. ALVERT LUNTAN BUNTARAN, MBA yang juga merupakan Putra dari Bapak Ishak Boentaran yang dilahirkan di Pangkalpinang, beliau adalah salah seorang Pengusaha yang tergolong sukses membangun Beberapa Perusahaan Ternama bertaraf Internasional di Indonesia. Renovasi Menumbing Hotel Pangkalpinang merupakan Program Lanjutan yang sudah masuk dalam Agenda Pengembangan dan diperkirakan memakan waktu kurang lebih 1 hingga 2 Tahun. 

Seiring dengan berjalannya Program Renovasi ini Management Menumbing Hotel saat ini dibawah Naungan PT.CULTUREROYALE INDONESIA Mulai berbenah diri dalam menata Pola Managerial baru untuk mencapai titik produktivitas yang maksimal, karena bisnis Jasa Akomudasi Perhotelan sifatnya padat karya. Tingkat Mutunya dibentuk atas perpaduan antara Sumber Daya Manusia, Pelanggan dan fasilitas penunjang yang ada di dalamnya, Sehingga memberikan Kesan yang baik kepada setiap Pelanggan adalah Menjadi Prioritas Utama. Ini adalah sebagai langkah awal untuk memperbesar kemungkinan diperolehnya pilihan terbaik untuk mencapai sasaran perusahaan sebagai sarana Penunjang Industri Pariwisata di Tanah air, sehingga akan menopang kedudukan yang sama kuat dengan Rencana Strategis Daerah dalam pengembangan Sektor Industri Pariwisata yang menjadi pilihan terbaik dimata dunia.

Semoga Allah SWT selalu Memberkatinya.... Aamiin..

Created By : H.Supriadi.Mhi,Sh





Minggu, 04 November 2012

SEJARAH BANGKA BELITUNG



Welcome to Bangka Island

 

Pulau Bangka adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah timur Sumatra, Indonesia. Luas pulau Bangka ialah 11.693.54 km².

Bangka menurut bahasa sehari-hari masyarakat Bangka mengandung arti "sudah tua" atau "sangat tua", sehingga pulau Bangka dapat diartikan sebagai "pulau yang sudah tua". Berdasarkan kandungan bahan galian yang didapat di daerah ini, pulau Bangka banyak mengadung bahan bahan galian mineral yang tentunya terjadi dari prosess alam yang berlaku berjuta juta tahun. Misalkan Timah yang ada dibangka, sehingga masyarakat menyebutnya dengan sebutan pulau bangka.

Kata bangka dapat juga berasal dari kata wangka yang artinya timah. Karena di daerah ini ditemukan bahan galian timah maka disebut Pulau Timah. Karena pergeseran atau bunyi bahasa yang berubah maka masyarakat lebih lekat memanggil Pulau ini dengan kata Pulau Bangka atau pulau bertimah. Menurut cerita rakyat Pulau bangka tidak ada penduduk asli semua adalah pendatang dari suku yang diberi nama suku sekak. Masyarakatnya masih menganut animisme. Kemudian masuk bangsa melayu dari daratan malaka dengan membawa agama islam yang kemudian berkembang sampai sekarang.


Pulau Bangka adalah pulau besar yang dikeliling oleh banyak pulau-pulau kecil, menyimpan banyak cerita sejarah dan peradaban yang besar sejak zaman dahulu. Letaknya yang strategis dengan kekayaan alam yang melimpah sejak pertama kali mampu direkam oleh catatan sejarah membuktikan bahwa Pulau Bangka adalah pulau yang bernilai historisitas tinggi.

Sebagai bagian dari sejarah besar, runtutan peristiwa yang pernah terjadi yang berkaitan dengan daerah ini juga menjadi perdebatan. Tidak saja perdebatan berkaitan dengan sejarah mula secara geografis, tetapi juga interaksi masyarakat didalamnya yang masih terus diperdebatkan oleh para peneliti dan tetua masyarakat didalamnya. Perdebatan tentang asal-usul kata Bangka sendiri adalah perdebatan yang belum final hingga sekarang.

Banyak versi yang mencoba memberikan interpretasi atas kata bangka, namun bukti fisik tentang asal-usul kata ini sendiri belum ditemukan kecuali usaha banyak ahli untuk menghubungkan analisis mereka dengan berbagai peristiwa. Versi sejarah yang tampaknya paling kuat adalah versi sejarah Kota Kapur. Ditemukannya bukti sejarah otentik berupa prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 masehi memulai perdebatan tersebut secara ilimiah. Prasasti yang ditemuka di Sungai Menduk Kecamatan Mendo Barat (Kabupaten Bangka Sekarang) tersebut berisikan 240 kata bahasa Sanskerta. Prasasti tersebut berisi tentang peringatan kepada masyarakat di wilayah Kerajaan Sriwijaya tentang larangan untuk melakukan pemberontakan. Peringatan tersebut jelas dibuat oleh penguasa kerajaan Sriwijaya pada masa itu sehingga dipekirakan bahwa Pulau Bangka pada masa Kerajaan Sriwijaya telah menjadi pusat aktivitas yang ramai. Dalam prasasti Kota Kapur, sama sekali tidak disebutkan kata Bangka. Namun para ahli sejarah banyak menghubungkan Bahasa Sanskerta yang digunakan pada prasasti Kota Kapur dengan kata vanca yang kemudian mengalami perubahan kata menjadi Bangka tampaknya bisa diterima dengan nalar.

Versi lain menyebutkan bahwa kata Bangka berasal dari kata Bangkai yang menunjukan bahwa kata bangka adalah tempat pembuangan bangkai pada masa penjajahan. Meski demikian, asal-usul kata ini tidak memiliki bukti ilmiah sehingga anlisis versi Kota Kapur di atas lebih bisa diterima oleh masyarakat kebanyakan. Sebuah majalah pada tahun 1846 yang bernama Tijdschrift voor Nederlandsch Indie memuat tulisan bahwa daerah yang disebut Banca adala pulau yang dulunya bernama Chinapata atau China-Batto (Chinapata diduga adalah  daerah yang dulu pernah dilaporkan oleh seorang pelaut bernama Jans Huyghens van Linschoteen pada tahun 1595 di Amsterdam). Dulu daerah yang disebut Banca mencakup Palembang dan meluas ke arah barat yang kemudian disebut Bangka-Hulu dan kemudian mengalami perubahan dialek menjadi Bengkulu sekarang ini. Ke arah Sumatera Timur, terdapat daerah yang bernama Bangka yang keyakinan banyak orang tentang kemungkinan ini tidak nampak terlau besar sehingga belakangan banyak orang yang bahkan tidak pernah mendengar cerita ini.



* Pulau Bangka dan Sejarah *

Belanda pertama kali mendarat di Nusantara tepatnya di Banten Pulau Jawa pada tahun 1596 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Cukup lama setelah itu belanda baru melirik Pulau Bangka sebaga salah satu daerah potensial penghasil timah. Ketika Belanda ingin masuk ke Pulau Bangka daerah ini masuk pada kekuasaan Kesultanan Palembang. Hubungan pertama antara VOC dan daerah Bangka Belitung terjadi pertama kalinya pada tahun 1668. Pulau Bangka pada masa itu berada dibawah kekuasaan Sultan Abdurrachman.

Sebuah catatan kontrak antara Belanda dan Sultan Palembang pada tanggal 10 juli 1668 sebagaimana disebutkan dalam buku Kepulauan Bangka Belitung dengan editor Achmad Sahabudin, dan kawan-kawan (2003) menyebutkan bahwa Kesultanan Palembang mengakui Belanda dengan usaha monopoli timahnya dan Belanda akan mlindungi Kesultanan Palembang. Berikutnya pada tahun 1722, Kesultanan Palembang yang berada dibawah pemerintahan Sultan Mahmud Kamarudin mengadakan perjanjian yang berisi ketentuan bahwa VOC memegang hak monopoli perdagangan atas timah. Tahun-tahun setelahnya menunjukan hubungan dagang Belanda dan Kesultanan Palembang berlangsung sangat buruk, sebagaimana Ratu Mahmud Kamarudin gagal memerintah internalnya.

* Awal Penambangan Timah *

Penemuan timah petama kali di pulau Bangka memiliki beberapa versi. Setidaknya catatanya yang ditulis oleh Heidhues menyebutkan tiga versi penemuan, yakni pada tahun 1707, 1709, dan tahun 1711. timah pada masa awal penemuan tersebut merupakan komoditas yang sangat mudah dilihat karena timah terdapat dimana-mana. Horsfield dalam Heidhues mengatakan bahwa timah dengan mudah terlihat ketika penduduk setempat melakukan pembakaran ladang-ladang untuk ditanami oleh penduduk setempat. Logam timah tampak meleleh ketika penduduk melakukan pembakaran.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya timah pada masa awal abad ke-17 merupakan sebuah komoditas yang mudah didapatkan. Hal ini menandakan betapa banyak kandungan timah yang ada di Pulau ini. Apalagi masa penambangan timah yang berlangsung selama 4 abad lebih dan hingga kini masa banyak penambangan timah yang dilakukan di berbagai tempat oleh penduduk dan beberapa perusahaan besar. Orang yang dianggap memperkenalkan penambangan timah di Pulau Bangka adalah orang-orang johor yang memiliki garis keturunan Cina yang beragama Islam dan juga merupakan kerabat Kesultanan Palembang. Abdulhayat dalam keluarga tersebut dan laki-lakinya yang bernama Wan Akub merupaka nama-nama yang banyak disebut dan dianggap merupakan orang-orang yang mempelopori penemuan timah di Mentok dan Pulau Bangka pada umumnya. Heidhues menyebutkan bahwa pada masuknya Orang-Orang johor tersebut, juga datang seorang Cina bernama Oen Asing (Boen Asiong) yang melakukan penambangan timah di kampung Belo Mentok. Orang ini pula yang melakukan berbagai macam gerakan pembaruan dalam penambangan timah. Didatangkan pada masa itu pekerja dari Cina, memperkenalkan penambangan timah dengan menggunakan mesin, teknik perapian untuk membakar timah yang lebih efisien, dan melakukan standarisasi bentuk dan berat timah.

Pada masa ini pula penambangan timah di Bangka mengenal istilah kuli dan kongsi. Kuli dalam ejaan lama koeli berasal dari bahasa Tamil yang artinya orang yang disewa. Sedangkan kongsi berasal dari bahasa Hakka, yaitu kwung-sze yang artinya penanganan atas dasar usaha usaha dan kepentingan bersama dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi bersama. Mulai dipekenalkan pula istilah tauke atau towkay yang artinya bos dan sinkeh yang artinya kuli Cina yang terikat pada tahun pertama dan bebas pada tahun kedua dan seterusnya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sejarah penambangan timah pada abad ke-17 dan setelahnya adalah sejarah penambangan timah yang dilakukan oleh orang-orang Cina. Impor pekerja Cina dalam jumlah besar-besaran menyebabkan penduduk Bangka hingga sekarang juga banyak diwarnai kehidupan orang-orang Cina yang mula-mula datang untuk bekerja sebagai penambang pada akhirnya ikut memberikan andil dalam proses perkembangan kultural masyarakat lokal.

Tidak mengherankan jika saat ini penduduk Cina di Pulau Bangka mencapai 30 persen dari total jumlah penduduk propinsi ini. Sebagai salah satu bukti bahwa masyarakat etnis Cina sudah ada sejak dulu, masyarakat etnis Cina dapat dijumpai di berbagai pelosok di daerah Pulau ini. Sebutlah misalnya Mentok, Pangkalpinang, Toboali, Sungailiat, Belinyu, Koba, Sungiselan Jebus dan kampung-kampung kawasa penambang timah berpenduduk ramai.


* Penduduk Asli Pulau Bangka *

Definisi tenteng penduduk asli Pulau Bangka hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa penduduk asli Pulau ini adalah Suku Melayu, padahal pembahasan sebelumnya nyebutkan bahwa Suku Melayu adalah eksodus secara perlahan-lahan penduduk yang datang dari kerajaan johor dan Kerajaan Lingga-Riau.

Sejarah dipulau ini juga diwarnai dengan kedatangan orang-orang bugis yang menjadi lanun dan menguasai dan menguasai pulau-pulau kecil dan daerah pesisir Bangka. Cina juga adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan perjalanan perkembangan demografis pulau ini. Sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1954 (anonim) berjudul Republik Indonesia Propinsi Sumatera Selatan menuliskan bahwa penduduk asli Pulau Bangka adalah mereka yang merupakan hasil pertalian perkawinan antara pelaut-pelaut yang datang dari Jawa, Palembang, Minangkabau, dan Bugis yang menjelma menjadi penduduk asli yang baru. Jadi tampaknya Pulau Bangka dan Belitung pada mulanya tidak berpenghuni, melainkan didatangi oleh penduduk dari daerah lain dan kemudian membentuk kultur khas daerah ini.

Pada sekitar pertengahan abad ke-17, pasukan dari Kerajaan johor dan Kerajaan Minang datang untuk membantu penguasa setempat menumpas para lanun-lanun yang mengganggu aktivitas masyarakat. Kedua Kerajaan ini mendarat di Toboali dimana kemudian Kerajaan Minang menetap dan mempengaruhi budaya dan bahasa peduduk setempat, sedangkan Pasukan dari Kerajaan johor menuju Mentok dan kemudian menetap serta memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan budaya dan bahasa penduduk Mentok dan sekitarnya.

Pengaruh Kerajaan Minang di Toboali sangat terasa hingga sekarang, misalnya dari sudut bahasa yang cenderung mengganti huruf S dengan H. Hal ini dapat di indetifisikasi pada penggunaan bahasa yang digunakan di Minang. Pengaruh lain misalnya pada tradisi makanan seperti lemang di Toboali yang merupakan makanan khas Minang. Sedangkan pengaruh Melayu Johor yang sangat kuat ditampakkan pada ciri khas ke-Melayu-an yang sangat kental di Mentok, misalnya pada bahasa yang cenderung menggunakan E pepet, tradisi masyarakat Mentok juga mengidentifikasikan diri dengan tradisi Melayu Malaysia. Sementara itu, Heidhues menyebutkan bahwa seorang pejabat Belanda bernama J. Van den Bogaart datang ke Pulau Bangka pada tahun 1803 membagi penduduk Bangka pada waktu itu dalam 4 kasta, yaitu :
1. Cina,
2. Melayu,
3. Orang Bukit (disebut juga Orang Gunung/Orang Darat),
4. Orang Laut (Orang sekak.



KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK
PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG 

 

Jumlah penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010) sebesar  1.223.296 jiwa menunjukkan peningkatan 36,06  persen dari tahun 2000 dengan jumlah penduduk sebesar 899.095 jiwa (hasil Sensus Penduduk 2000).  Tingkat pertumbuhan penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2010 sebesar 2,83 persen, jika ditinjau menurut kabupaten/kota untuk periode tahun 2010, tingkat pertumbuhan tertinggi terdapat di Kabupaten Bangka Tengah 3,43 persen, diikuti Kota Pangkalpinang 3,06 persen dan Kabupaten Bangka 2,79 persen. Tingkat kepadatan penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencapai  74 orang per km2, apabila dilihat menurut kabupaten/kota, Kota Pangkalpinang memiliki tingkat kepadatan tertinggi yaitu sebesar 1.471 orang per km2 dan Kabupaten Belitung Timur memiliki tingkat kepadatan terendah yaitu 42 orang per km2.


Ekonomi

Sejak 1710, Pulau Bangka merupakan salah satu wilayah penghasil timah terbesar di dunia. Proses produksi timah saat ini dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia. Selain sumber perekonomian masyarakat Pulau Bangka adalah dari sektor pertanian yaitu Lada, merica, karet, dan kelapa sawit juga dihasilkan di pulau Bangka.


Sejarah

Pulau Bangka merupakan salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang, karena runtuhnya kekuasaan Kesultanan Palembang kemudian wilayah Bangka diserahkan ke tangan Inggris pada 1812. Pada tahun 1814, oleh pemerintah Inggris pulau Bangka dibarter dengan Cochin di India yang tadinya milik Belanda. Pada masa perang dunia ke-2 pemerintahJepang yang menjadi pemenang pada saat itu menguasai pulau Bangka dari tahun 1942 hingga 1945. Setelah Jepang pada tahun 1945 menyerah tanpa syarat pada Sekutu seperti halnya hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan, maka pulau Bangka setelah proklamasi kemerdekaan menjadi bagian dari Indonesia pada 1949. Pulau Bangka bersama dengan pulau Belitung pada awalnya merupakan bagian dari provinsi Sumatera Selatan hingga tahun 2000 setelah terjadi perubahan peta politik di Indonesia dan terjadi pergolakan pada tahun 1998 yang berujung jatuhnya kekuasaan rezim Suharto, atas desakan masyarakat di pulau Bangka dan Belitung kemudian pada tahun 2000 pulau Bangka dan pulau Belitung kemudian disahkan sebagai sebuah provinsi dan melepaskan diri dari Sumatera Selatan dan disahkan menjadi sebuah provinsi bernama Kepulauan Bangka Belitung.


Sriwijaya

Catatan sejarah mengungkapkan bahwa Pulau Bangka semasa di bawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya pernah dihuni oleh orang-orang Hindu dalam abad ke-7 dan pulau Bangka termasuk pula sebagai daerah yang takluk dari kerajaan yang besar itu. Selain sebagai wilayah kekuasaan Sriwijaya, Pulau Bangka juga pernah menjadi wilayah kekusaan beberapa kerajaan besar dari pulau Jawa seperti kerajaan Majapahit ketika itu dibawah kekuasaan Raja Hayam Wuruk dengan pendampingnya mahapatih Gajah Mada dan kerajaan Mataram tercatat pula sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menguasai Pulau Bangka.

Namun baik pada masa kerajaan Sriwijawa maupun kerajaan Majapahit atau pun Mataram pulau Bangka kurang mendapatkan perhatian, meskipun letaknya yang sangat strategis di tengah-tengah jalur pelayaran lalu lintas perdagangan internasional. Baru setelah perdagangan dari daratan Asia maupun Eropa berlomba-lomba ke Indonesia pulau Bangka mulai menjadi perhatian, setelah ditemukannya rempah-rempah. Kurangnya perhatian terhadap pulau Bangka dan Belitung menyebabkan banyaknya bajak laut yang menjadikan pulau Bangka dan Belitung dijadikan sebagai tempat persembunyian Bajak laut yang berdampak pada penderitaan bagi penduduknya.


Kesultanan Johor

Untuk mengatasi kekacauan dan keamanan pelayaran di sekitar selat Malaka, maka Sultan Johor dengan sekutunya Sutan dan Raja Alam Harimau Garang mengerahkan pasukan ke pulau ini. Setelah misi pembebasan pulau Bangka dan Pulau Belitung berhasil dengan baik, Sultan Johor dan sekutunya juga mengembangkan agama Islam di tempat kedudukannya masing-masing Kotawaringin dan Bangkakota. Namun sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, kemudian kembali pulau Bangka menjadi sarang kaum bajak laut.


Kesultanan Banten

Karena merasa turut dirugikan dengan tidak amannya pelayaran di sekitar perairan Malaka terutama di sekitar Pulau Bangka dan Belitung, apalagi setelah dirampasnya kapal-kapal dari pedagang-pedagang dari Banten maka Sultan Banten mengirimkan Bupati Nusantara untuk membasmi bajak-bajak laut yang beroperasi di sekitar kedua pulau tersebut. Setelah kedua puleu tersebut berhasil dikuasai kemudian Bupati Nusantara untuk beberapa lama memerintah Bangka dengan gelar Raja Muda. Diceritakan pula bahwa Panglima Banten, Ratu Bagus yang terpaksa mundur dari pertikaiannya dengan Sultan Palembang, menuju ke Bangka Kota dan wafat di sana. Setelah Bupati Nusantara wafat, kekuasaan jatuh ke tangan putri tunggalnya dan karena putrinya ini dikawinkan dengan Sultan Palembang, yaitu Sultan Abdurrachman maka dengan sendirinya pulau Bangka dan Belitung kembali menjadi kekuasaan kesultanan Palembang dari tahun (1659-1707).


Kesultanan Palembang

Pada tahun 1707 Sultan Abdurrachman wafat, dan ia digantikan oleh putranya Ratu Muhammad Mansyur (1707-1715). Namun Ratu Anum Kamaruddin adik kandung Ratu Muhammad Mansyur kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan Palembang, menggantikan abangnya (1715-1724), walaupun abangnya telah berpesan sebelum wafat, supaya putranya Mahmud Badaruddin menyingkir ke Johor dan Siantan, sekalipun secara resmi sudah diangkat menjadi Sultan Palembang.

Tetapi pada tahun 1724 Mahmud Badaruddin dengan bantuan Angkatan Perang dari Sultan Johor merebut kembali Palembang dari pamannya.
Kekuasaan atas pulau Bangka selanjutnya diserahkan oleh Mahmud Badaruddin kepada Wan Akup, yang sejak beberapa waktu telah pindah dari Siantan ke Bangka bersama dua orang adiknya Wan Abduljabar dan Wan Serin.


Penemuan timah dan VOC

Sekitar tahun 1709 diketemukan timah, yang mula-mula digali di Sungai Olin di Kecamatan Toboali oleh orang-orang Johor atas pengalaman mereka di Semenanjung Malaka. Dengan diketemukannya timah ini, mulailah pulau Bangka disinggahi oleh segala macam perahu dari Asia maupun Eropa. Perusahaan-perusahaan penggalian timah pun semakin maju, sehingga Sultan Palembang mengirimkan orang-orangnya ke Semenanjung Negeri Tiongkok untuk mencari tenaga-tenaga ahli yang kian terasa sangat diperlukan.
Pada tahun 1717 mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Dengan bantuan kompeni ini, Sultan Palembang berusaha membasmi bajak-bajak laut dan penyelundupan-penyelundupan timah. Pada tahun 1755 pemerintah Belanda mengirimkan misi dagangnya ke Palembang yang dipimpin oleh Van Haak, yang bermaksud untuk meninjau hasil timah dan lada di Bangka. Pada sekitar tahun 1722 VOC mengadakan perjanjian yang mengikat dengan Sultan Ratu Anum Kamaruddin untuk membeli timah monopoli, dimana menurut laporan Van Haak perjanjian antara pemerintah Belanda dan Sultan Palembang berisi :
  • Sultan hanya menjual timahnya kepada kompeni
  • Kompeni dapat membeli timah sejumlah yang diperlukan.
Sebagai akibat perjanjian inilah kemudian banyak timah hasil pulau Bangka dijual dengan cara diselundupkan.
Selanjutnya tahun 1803 pemerintah Belanda mengirimkan misi lagi yang dipimpin oleh V.D. Bogarts dan Kapten Lombart, yang bermaksud mengadakan penyelidikan dengan seksama tentang timah di Bangka.


Jajahan Inggris

Perjanjian Tuntang pada tanggal 18 September 1811 telah membawa nasib lain bagi pulau Bangka. Pada tanggal itu ditandatanganilah akta penyerahan dari pihak Belanda kepada pihak Inggris, di mana pulau Jawa dan daerah-daerah takluknya, Timor, Makasar, dan Palembang berikut daerah-daerah takluknya menjadi jajahan Inggris.
Raffles mengirimkan utusannya ke Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur, tetapi mereka ditolak oleh Sultan Mahmud Badaruddin II, karena kekuasaan Belanda di Palembang sebelum kapitulasi Tuntang sudah tidak ada lagi. Raffles merasa tidak senang dengan penolakan Sultan dan tetap menuntut agar Loji Sungai Aur diserahkan, juga menuntut agar Sultan menyerahkan tambang-tambang timah di pulau Bangka dan Belitung.
Pada tanggal 20 Maret 1812 Raffles mengirimkan Ekspedisi ke Palembang yang dipimpin oleh Jendral Mayor Roobert Rollo Gillespie. Namun Gillespie gagal bertemu dengan Sultan lalu Inggris mulai melaksanakan politik “Divide et Impera”nya. Gillespie mengangkat Pangeran Adipati sebagai Sultan Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II (tahun 1812).
Sebagai pengakuan Inggris terhadap Sultan Ahmad Najamuddin II dibuatlah perjanjian tersendiri agar pulau Bangka dan Belitung diserahkan kepada Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Betawi lewat Mentok oleh Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Inggris dengan diberi nama “Duke of Island” (20 Mei 1812).


Kembali menjadi jajahan Belanda

Kemudian atas dasar Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814, Belanda menerima kembali dari Inggris daerah-daerah yang pernah didudukinya pada tahun 1803 sebelum Napoleon menyerbu Belanda di Eropa, termasuk beberapa daerah Kesultanan Palembang. Serah terima dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan K. Heynes (Belanda) di Mentok pada tanggal 10 Desember 1816.
Kecurangan-kecurangan, pemerasan-pemerasan, pengurasan dan pengangkutan hasil timah yang tidak menentu, yang dilakukan oleh VOC dan Inggris (EIC) akhirnya sampailah pada situasi hilangnya kesabaran rakyat. Apalagi setelah kembali kepada Belanda, yang mulai menggali timah secara besar-besaran dan sama sekali tidak memikirkan nasib pribumi. Perang gerilya yang dilakukan di Musi Rawas untuk melawan Belanda, juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka dan Belitung.
Maka pecahlah pemberontakan-pemberontakan, selama bertahun-tahun rakyat Bangka mengadakan perlawanan, berjuang mati-matian untuk mengusir Belanda dari daerahnya, di bawah pimpinan Depati Merawang, Depati Amir, Depati Bahrin, dan Tikal serta lainnya.
Kemudian istri Mahmud Badaruddin yang karena tidak serasi berdiam di Palembang diperkenankan suaminya menetap di Bangka dimana disebutkan bahwa istri Sultan Mahmud ini adalah anak dari Wan Abduljabar. Sejarah menyebutkan bahwa Wan Abduljabar adalah putra kedua dari Abdulhayat seorang kepercayaan Sultan Johor untuk pemerintahan di Siantan, Abdulhayat ini semula adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Tiongkok bernama Lim Tau Kian, yang karena berselisih paham lalu melarikan diri ke Johor dan mendapat perlindungan dari Sultan. Ia kemudian masuk agama Islam dengan sebutan Abdulhayat, karena keahliannya diangkat oleh Sultan Johor menjadi kepala Negeri di Siantan.





SEJARAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG


Wilayah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, terutama Pulau Bangka berganti  ganti menjadi  daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya, dan Majapahit.
Setelah kapitulasi dengan Belanda, Kepulauan Bangka Belitung menjadi jajahan Inggris sebagai Duke of Island.
20 Mei 1812 kekuasaan Inggris berakhir setelah konvensi London 13 Agustus 1824, terjadi peralihan kekuasaan daerah jajahan Kepulauan Bangka Belitung antara MH. Court (Inggris) dengan K.Hcyes (Belanda) di Mentok pada 10 Desember 1816.
Kekuasaan Belanda mendapat perlawanan Depati Barin dan putranya Depati Amir yang di kenal sebagai perang Depati Amir (1849-1851).
Kekalahan perang Depati Amir menyebabkan Depati Amir di asingkan ke Desa Air Mata Kupang NTT.
Atas dasar stbl. 565, tanggal 2 Desember 1933 pada tanggal 11 Maret 1933 di bentuk Resindetil Bangka Belitung Onderhoregenheden yang dipimpin seorang residen Bangka Belitung dengan 6 Onderafdehify yang di pimpin oleh Ast. Residen. Di Pulau Bangka terdapat 5 Onderafdehify yang akhirnya menjadi 5 Karesidenan sedang di Pulau Belitung terdapat 1 Karesidenan.
Di zaman Jepang Karesidenan Bangka Belitung di perintah oleh pemerintahan Militer Jepang yang disebut Bangka Beliton Ginseibu.
Setelah Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, oleh Belanda di bentuk Dewan Bangka Sementara pada 10 Desember 1946 (stbl.1946 No.38) yang selanjutnya resmi menjadi Dewan Bangka yang diketuai oleh Musarif Datuk Bandaharo Leo yang dilantik Belanda pada 11 November 1947.
Dewan Bangka merupakan Lembaga Pemerintahan Otonomi Tinggi.
Pada 23 Januari 1948 (stb1.1948 No.123), Dewan Bangka, Dewan Belitung dan Dewan Riau bergabung dalam Federasi Bangka Belitung dan Riau (FABERI) yang merupakan suatu bagian dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

Berdasarkan Keputusan Presiden RIS Nomor 141 Tahun 1950 kembali bersatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga berlaku undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.
Pada tanggal 22 April 1950 oleh Pemerintah diserahkan wilayah Bangka Belitung kepada Gubernur Sumatera Selatan Dr. Mohd. lsa yang disaksikan oleh Perdana Menteri Dr. Hakim dan Dewan Bangka Belitung dibubarkan. Sebagai Residen Bangka Belitung ditunjuk R.Soemardja yang berkedudukan di Pangkalpinang.
Berdasarkan UUDS 1950 dan UU Nomor 22 Tahun 1948 dan UU Darurat Nomor 4 tanggal 16 November 1956 Keresidenan Bangka Belitung berada di Sumatera Selatan yaitu Kabupaten Bangka dan dibentuk juga kota kecil Pangkalpinang.
Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1957 Pangkalpinang menjadi Kota Praja. Pada tanggal 13 Mei 1971 Presiden Soeharto meresmikan Sungai Liat sebagai ibukota Kabupaten Bangka.
Berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2000 wilayah Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung menjadi Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Selanjutnya sejak tanggal 27 Januari 2003 Propinsi Kepualauan Bangka Belitung mengalami pemekaran wilayah dengan menambah 4 Kabupaten baru yaitu Kabupaten Bangka Barat, Bangka Tengah, Belitung Timur dan Bangka Selatan.